suaraanda.com, Depok-Sidang dugaan kasus hoax terkait UU Ciptakerja Omnibuslaw digelar hari ini di Pengadilan Negeri Depok. Sidang dengan terdakwa Syahanda Nainggolan digelar secara virtual dengan agenda pembacaan dakwaan.
Syahganda didakwa atas dua pasal. Dakwaan Pertama pasal 14 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kedua pasal 14 ayat (2) UU nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ATAU Ketiga pasal 15 UU nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. “Tindakan terdakwa adalah tindakan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana,” kata JPU Arief Syafrianto membacakan dakwaan, Senin (21/12).
Mendengar dakwaan tersebut, Syahganda dan penasehat hukum merasa keberatan dan akan mengajukan eksepsi. Terdakwa pun diberi waktu hingga 4 Januari untuk menyusun eksepsi tersebut. “Kalau memang keberatan silahkan dibuktikan di persidangan saja,” kata ketua tim JPU Syahwan.
Sementara itu, kordinator PH Syahganda, Abdullah Alkatiri mengaku keberatan atas dakwaan jaksa. Kliennya kata dia tidak menyampaikan kebohongan. “Ini jelas-jelas berhubungan dengan kebebasan menyampaikan pendapat bagaimana jika orang menyampaikan pendapat dinyatakan pidana. Bahaya. Jadi saya katakan dakwaan ini menurut kami tidak sesuai dengan undang-undang dasar 45 khususnya pasal 28e ayat 2 dan juga undang-undang HAM yaitu undang-undang 29 1999,” kata Alkatiri.
Menurutnya, dakwaan JPU dalam pasal 14 ayat 1 ayat 2 dan sebagainya itu unsurnya bukan hanya bohong tetapi ada juga keonaran. Keonaran sesuai kamus besar bahasa Indonesia itu keributan. “Menurut kami ini bukan tindak pidana tetapi murni orang menyampaikan pendapat di muka umum,” tegasnya.
Dikatakan dia yang dimaksud keonaran adalah keributan. Dicontohkan dia jika ada orang teriak-teriak di dalam pasar ada kebakaran ada kebakaran terjadi keributan lari sana lari sini dan sebagainya itulah keonaran. “Atau orang di tepi pantai dia berteriak ada tsunami tsunami orang pada ribut atau di pesawat dia bilang ada bom itu kebohongan yang menimbulkan keonaran. Kalau kebohongan saja jadi harus diuji dengan undang-undang 45 dan undang-undang HAM,” ucapnya.
Dengan demikian pihaknya berpendapat dakwaan itu tidak tepat. Pasalnya kata dia perihal kebohongan harus dilakukan pengujian. “Ya kita uji Apakah ini bertentangan dengan undang-undang dasar atau tidak karena pasal kebencian itu tidak ada yang ada hanya kebohongan lah bohong itu hakim tidak boleh mengambil kewenangan Tuhan yang menyatakan orang itu bohong atau tidak. Orang kalau dinyatakan bersalah, seandainya salah apakah dia harus bisa dihukum kan tidak ada aturan oramg ngomong salah dihukum, seandainya, apalagi benar. Jadi kita uji. Kenapa kita masukkan ke undang-undang dasar dan UU undang-undang HAM karena masalahnya kemanusiaan. Masalah konstitusi bahwa dia menyampaikan pendapat dan itu sesuai dengan konstitusi,” tutupnya.